Halaman

Jumat, 04 Februari 2011

Gejolak di negara Arab

Ben Ali with Sarkozy
By : Faizal
Mantan Presiden Tunisia Zein El Abidine Ben Ali selama 23 tahun kediktatorannya, akhirnya runtuh dikarenakan rezim politik presiden republik Tunisia tidak mampu memberikan perubahan bagi warga. Tunisia di landa krisis ekonomi, jumlah penganguran meningkat tajam, dan harga barang-barang pokok semakin mahal. Demonstrasi dengan turun ke jalan dari warga yang tidak puas dengan melakukan mogok kerja serta memblokade jalan dan bahkan ada beberapa demonstran yang melakukan aksi bakar diri. Kekuatan polisi dan militer dibawah kendali Ben Ali di kerahkan untuk menghentikan demonstran dengan menembaki, namun hal tersebut hanya memberhentikan beberapa demonstran saja. Partai oposisi ingin meruntuhkan kekuasan Ben Ali. Mereka mengorganisir melakukan pemilihan umum secara demokratis untuk menetapkan presiden baru.

Setelah pemerintahan republik Tunisia runtuh, menyusul Mesir dengan presiden Husni Mubarak yang sudah berkuasa selama 32 tahun, setelah menggantikan Anwar Sadat lewat kudeta militer pada tahun 1969.

dan selanjutnya negara mana lagi yang kemungkinan menyusul ? ... untuk mengetahui jawabannya klik selengkapnya :)

Inilah rezim diktator Negara Negara negara Arab yang bakal runtuh

Majalah Foreign Policy dalam laporannya (26/1) membahas kondisi Tiga negara Arab yang diperkirakan akan menghadapi gelombang protes massif pasca tumbangnya rezim diktator Tunisia pimpinan Zine Al-Abidine Ben Ali dan Rezim politik Mesir di bawah pimpinan Husni Mubarak yaitu : Aljazair, Libya, dan Jordania merupakan tiga negara yang dinilai sangat rentan terhadap protes rakyatnya dan terancam runtuh.

Rezim Bouteflika, AlJazair

Menurut Foreign Policy, Abdul Aziz Bouteflika, telah menjabat sebagai Presiden Aljazair sejak tahun 1999 dan pada tahun 2009, ia mengubah konstitusi sehingga ia dapat mempertahankan jabatannya untuk periode ketiga. Partai-partai oposisi Aljazair memboikot pemilu tersebut.

Saat ini Abdul Aziz Bouteflika yang telah menginjak usia 73 tahun dikabarkan sudah sakit-sakitan dan saudaranya menyatakan siap untuk menggantikan posisinya.

Bouteflika mampu mengakhiri perang saudara di Aljazair yang berlangsung selama 10 tahun dan mampu meningkatkan hubungan negaranya dengan kekuatan di Afrika dan Eropa. Namun ia gagal dalam memberantas kelompok separatis yang berafiliasi denganAlQaeda. Ia juga tidak berhasil mencegah pengeroposan lembaga-lembaga demokratis di negaranya.

Pada bulan Januari, Aljazair menyaksikan aksi demonstrasi luas sama dengan yang terjadi di Tunisia. Warga memprotes meningkatnya harga komoditi dan juga krisis pengangguran. Demo warga makin meningkat setelah pemerintah menetapkan kenaikan harga susu, gula, dan tepung. Selain itu, sudah lama rakyat Aljazair mengeluhkan ketidakadilan distribusi kekayaan negara.

Tak ayal ribuan pemuda Aljazair turun ke jalan-jalan dan bentrok dengan aparat polisi. Bahkan sebuah pos polisi dibakar massa.

Menurut Foreign Policy, meski rezim Bouteflika tidak demokratis, namun kondisinya tidak separah rezim Ben Ali di Tunisia. Oleh karena itu, kondisi saat ini masih sulit bagi kelompok oposisi untuk menggulingkan rezim berkuasa. Selain itu, serikat-serikat buruh dan kelompok-kelompok oposisi Aljazair tampak sungkan mendukung demonstrasi warga.

Rezim Renta Ghadafi, Libya

Setelah membahas Aljazair dan Mesir, Foreign Policy menyinggung kondisi di Libya. Era pemerintahan Moammar Ghadafi dinilai telah melebihi usia kekuasaan seluruh pemerintahan di dunia saat ini. Ia berkuasa di Libya pada tahun 1969, melalui sebuah kudeta militer.

Di bawah kekuasaannya, Libya menjadi salah satu negara terbesar pelanggar hak asasi manusia dan negara paling tidak demokratis. Di negara ini tidak ada kebebasan media dan dari kelompok oposisi, yang tertinggal hanyalah nama dan kenangan belaka.

Lebih lanjut Foreign Policy menambahkan, meski untuk mendapatkan informasi detail tentang kondisi di Libya sangat sulit, namun sejumlah laporan dan rekaman video menunjukkan bahwa demonstrasi warga di ibukota cukup menjadi bukti tingginya tingkat ketidakpuasan rakyat Libya atas rezim berkuasa. Padahal sebelumnya, protes merupakan kata yang hampir tidak pernah didengar dari Libya.

Untuk mengantisipasi seperti apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Aljazair, pemerintah Libya langsung melakukan impor komoditi secara massif dan bahkan mencabut sejumlah batasan. 15 Januari lalu, Ghadafi dalam pidatonya mengecam revolusi di Tunisia. Dalam beberapa pidato, Ghadafi menyebut mantan diktator Tunisia, Zine Al Abidine Ben Alisebagai saudara dekat.

Ratu Jordania Siap-Siap Mengungsi ke Jeddah

Negara kelima yang menurut Foreign Policy diperkirakan akan menghadapi gelombang protes hingga runtuhnya pemerintahan adalah Jordania. Raja Jordania, Abdullah II, merupakan salah satu sekutu utama Amerika Serikat di kawasan dan menjadi “makelar perdamaian” antara Otorita Ramallah di Palestina dan rezim Zionis Israel. Abdullah yang merupakan jebolan Amerika Serikat itu berkuasa di Jordania pasca Perang Dunia II.

Kondisi saat ini di Jordania hampir sama dengan yang dialami di Tunisia dan Mesir. Parlemen baru Jordania hingga kini masih menghadapi krisis pengangguran yang persentasenya mencapai angka dua digit. Selain itu banyak pengamat yang meragukan kelanggengan kekuasaan Abdullah II.

Pada tanggal 16 Januari lalu, sekitar 3.000 warga berdemonstrasi di depan gedung parlemen negara ini dalam rangka memprotes kebijakan ekonomi. Mereka meneriakkan slogan “Jordania bukan hanya untuk orang-orang kaya saja”, “Roti adalah garis merah kami, kalian harus memperhatikan kemarahan dan kelaparan kami.”

Ratu Jordania menyampaikan pesan melalui internet yang mengimbau warga untuk menjaga ketenangan. Sikap itu direaksi keras oleh warga Jordania, bahkan di antaranya mengimbau keluarga kerajaan untuk menyiapkan rumah di Jeddah, Arab Saudi. Jeddah, adalah kota tujuan mantan diktator Tunisia, Zine al Abidine Ben Ali, setelah tersungkur dari jabatannya.

Kemungkinan Revolusi di Sudan

Sudan menjadi negara keempat yang dinilai Foreign Policy berpotensi menghadapi kebangkitan masyarakat. Presiden Sudan, Omar al-Bashir dalam dua dekade pemerintahannya, menjadi “guru besar dalam menebar perpecahan dan berkuasa”. Dengan lihai al-Bashir mengadu kelompok-kelompok yang menentangnya dan dalam membasmi segala bentuk ancaman.

15 tahun pertama pemerintahan al Bashir, berlalu dengan perang saudara antara kawasan utara dan selatan negara ini. Memasuki milenium, muncul pemberontakan dari Darfur, dan al-Bashir mempersenjatai sebuah kelompok milisi untuk memerangi para separatisan Darfur.

Wilayah Sudan Selatan saat ini tengah menanti hasil referendum soal pemisahan kawasan itu dari Sudan Utara. Al-Bashir berjanji akan menerima hasi referendum.

Al-Bashir yang mampu mengendalikan kondisi di wilayah selatan, tampaknya kini menghadapi kendala baru yaitu kehilangan pendukung secara bertahap. Hasan al-Turabi, ketua partai oposisi pada pidatonya dalam aksi unjuk rasa tanggal 17 Januari lalu menyampaikan pesan kepada al-Bashir dan mengatakan, “Apa yang yang terjadi di Tunisia adalah peringatan. Ini dapat terjadi di Sudan. Jika tidak, maka akan terjadi pertumpahan darah besar-besaran di Sudan.”

Al-Bashir dihimpit dua krisis besar saat ini. Pertama jika Sudan Selatan memisahkan diri, maka kondisi negaranya akan semakin sulit mengingat sebagian besar sumber minyak terletak di wilayah selatan. Kedua, di wilayah selatan pun, al-Bashir mulai kehilangan pendukung. Upayanya untuk mengurangi defisit bujet negara dilaukan dengan memotong subsidi bahan bakar dan komoditi utama. Kenaikan harga tersebut yang akhirnya menyeret para mahasiswa berdemonstrasi.

sumber di edit dari http://www.eramuslim.com/berita/dunia/rezim-di-dunia-arab-akan-segera-runtuh.htm


Tidak ada komentar:

Posting Komentar